SURABAYA, Berbicara.id – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pembangunan Kapal Taman Bahari Majapahit (TBM) kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (25/11/2025). Sidang kali ini menghadirkan saksi ahli a de charge dari pihak terdakwa Santos, yaitu Dr. Adrian, pakar hukum pidana dari Universitas Hangtuah.
Dalam keterangannya, Dr. Adrian menegaskan bahwa posisi Santos sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak memiliki kewenangan yang dapat menjeratnya dengan pasal penyalahgunaan wewenang sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ahli terlebih dulu menjelaskan perbedaan mendasar antara kedua pasal yang digunakan JPU dalam dakwaan.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor: ditujukan kepada setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi dengan unsur utama melawan hukum.
Pasal 3 UU Tipikor: menyasar pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang sehingga merugikan keuangan negara.
“Dua pasal itu berbeda. Pasal 2 ayat 1 mensyaratkan melawan hukum, sedangkan Pasal 3 berbicara tentang penyalahgunaan wewenang. Keduanya tidak bisa disamakan,” jelas Dr. Adrian di hadapan majelis hakim.
Ahli kemudian menekankan bahwa untuk menjerat seseorang dengan Pasal 3, jaksa harus membuktikan adanya dua unsur: Kesempatan, dan Sarana, yang melekat karena jabatan seseorang.
“Kesempatan dan sarana itu merupakan konsekuensi logis dari kewenangan. Penyalahgunaan wewenang hanya dapat terjadi pada jabatan yang memang memiliki wewenang tetap. Tanpa jabatan yang memiliki kewenangan, unsur itu tidak terpenuhi,” tegasnya.
Dr. Adrian memaparkan bahwa dalam aturan pengadaan barang/jasa pemerintah, PPTK tidak termasuk pejabat yang memiliki kewenangan membuat keputusan strategis.
Ia merujuk Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang secara tegas mengatur pejabat berwenang. Antara lain; Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)..
“Di dalam Perpres tidak ada kewenangan untuk PPTK. Dalam Permendagri 77 Tahun 2020 juga tidak disebutkan PPTK punya wewenang. PPTK hanya membantu tugas PPK,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut ahli, tindakan PPTK tidak dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang karena secara hukum PPTK tidak punya kewenangan untuk disalahgunakan.
Menurut ahli, bila PPTK tidak menjalankan tugas dengan benar, maka konsekuensinya adalah sanksi administrasi, bukan pidana.
“Jika PPTK salah melaksanakan tugas, maka yang berlaku adalah hukum administrasi. Atasannya, dalam hal ini PPK, yang memberikan punishment seperti teguran atau pemberhentian,” ucap Dr. Adrian.
Ia menambahkan bahwa dalam penerapan hukum pidana, penting untuk memperhatikan mansrea atau kesengajaan dari pelaku. Tanpa niat jahat dan tanpa kewenangan, unsur pidana menurutnya tidak terpenuhi.
